Sebuah wahana ruang angkasa milik NASA berhasil merekam jelas suara-suara ke dalam magnetosfer Planet Bumi. Magnetosfer adalah lapisan medan magnet yang menyelubungi benda angkasa.
"Kicauan dan teriakan" ini ditangkap salah satu dari dua wahana angkasa luar NASA bernama Radiation Belt Storm Probes (RBSP). Wahana ini memiliki misi untuk lebih memahami cuaca ruang angkasa.
"Istri saya menamai suara-suara ini dengan alien birds(suara burung ruang angkasa)," seloroh ketua peneliti suara angkasa luar Craig Kletzing yang juga astronom pada Universitas Iowa.
Suara "burung ruang angkasa" ini terjadi pada gelombang radio dalam frekuensi yang manusia pun dapat mendengarnya, begitu partikel-partikel rendah energi mentransfer energinya ke partikel-partikel berenergi lebih tinggi.
Transfer energi ini menciptakan suara yang para peneliti duga juga menciptakan gelombang-gelombang plasma yang berdampak pada salah satu dari proses penting pencuacaan antariksa.
Para peneliti sebenarnya sudah mengetahui suara-suara ruang angkasa ini sejak berdekade-dekade lalu, namun wahanan RBSP berharga 686 juta dolar AS ini menangkap suara-suara itu dalam resolusi yang lebih tinggi dibandingkan yang ditangkap wahana-wahana antariksa sebelumnya.
Dengan pemahaman data yang lebih baik, maka akan didapat pengetahuan mengenai cuaca ruang angkasa yang lebih baik pula.
Mengingat badai Matahari bisa merusak satelit dan berdampak pada jaringan-jaringan hidro (contohnya terjadi pada jaringan hidro di Quebec pada 1989), para penelit berani memprediksi bahwa cuaca akan meminimalkan dampak badai Matahari ini.
RBSP adalah langkah kecil menuju prediksi lebih maju, kata Kletzing. Kekuatan terbesar RBSP, sambungnya, adalah dua satelit yang memungkinkannya mengukur luas cuaca ruang angkasa.
"Kami belum tahu luas kawasan ini, mungkin besar, mungkin kecil," kata Kletzing seperti dikutip Space.com.
Misi RBSP diluncurkan pada 30 Agustus dan kini masih layak mengemban misi selama 60 hari mengingat eksperimen-eksperimen dan perangkat-pernagkat kerasnya telah diujikan.
Dua wahana ruang angkasa mengorbit dalam Sabuk (radiasi) Van Allen, dari 500 km sampai 31.250 km di atas Bumi. Salah satu wahana ruang angkasa itu memutari wahana yang satunya lagi dalam orbit sekitar 75 hari.
Eksperiman Tim Kletzing disebut dengan Electric and Magnetic Field Instrument Suite and Integrated Science(EMFISIS).
Sensor-sensor pada eksperimen ini diletakkan pada ujung dari dua flensa besar pada sisi lain dari wahana ruang angkasa itu.
Ketika semuanya diperluas, masing-masing flensa akan meluas sampai 3 meter dari wahana ruang angkasa.
EMFISIS perlu berada sejauh mungkin dari pesawat angka luar demi mencegah gangguan perekaman suara baik dari instrumen-instrumen lain maupun dari pesawat ruang angkasa itu sendiri, jelas Kletzing.
EMFISIS adalah satu-satunya instrumen yang dinyalakan, sebagian untuk memonitor dan menyingkirkan sinyal-sinyal palsu dari pesawat ruang angkasa.
Simfoni suara
"Paduan suara" hanyalah satu dari sekian suara yang didengar tim EMFISIS. Contohnya, EMFISIS bisa mendeteksi batas antara area padat partikel dengan area renggang partikel.
EMFISIS juga mengukur gelombang-gelombang yang berkaitan dengan perputaran ion yang mengelilingi medan magnet. Hidrogen, Helium dan Oksigen menghasilkan frekuensi putarannya sendiri untuk mencipta gelombang pada frekuensi di bawah yang bisa didengar manusia.
Untuk memetakan partikel-partikel ini diperlukan satu petunjuk mengenai komposisi mangnetosfer.
"Melalui cuaca ruang angka, kami akan bisa meningkatkan derajat perkiraan," kata Kletzing seperti dikutip Space.com. "Untuk memahami bagaimana fisika pastinya bekerja, Anda memerlukan model yang lebih baik, sekaligus memahami model itu."
Misi ilmiah utama RBSP diperkirakan memakan waktu dua tahun. Kletzing menyebutnya teramat lama bagi wahana angkasa luar untuk secara konstan diguyur radiasi.
Kebanyakan wahana angkasa luar menghindari Sabuk Van Allen sehingga memerlukan tameng ekstra dan bagian-bagian khusus.
Pihak-pihak yang berkolaborasi dalam eksperimen EMFISIS adalah Pusat Penerbangan Antariksa Goddars NASA, Universitas New Hampshire, Universitas California di Los Angeles (UCLA) dan Laboratorium Nasional Los Alamos, demikian Space.com.
"Kicauan dan teriakan" ini ditangkap salah satu dari dua wahana angkasa luar NASA bernama Radiation Belt Storm Probes (RBSP). Wahana ini memiliki misi untuk lebih memahami cuaca ruang angkasa.
"Istri saya menamai suara-suara ini dengan alien birds(suara burung ruang angkasa)," seloroh ketua peneliti suara angkasa luar Craig Kletzing yang juga astronom pada Universitas Iowa.
Suara "burung ruang angkasa" ini terjadi pada gelombang radio dalam frekuensi yang manusia pun dapat mendengarnya, begitu partikel-partikel rendah energi mentransfer energinya ke partikel-partikel berenergi lebih tinggi.
Transfer energi ini menciptakan suara yang para peneliti duga juga menciptakan gelombang-gelombang plasma yang berdampak pada salah satu dari proses penting pencuacaan antariksa.
Para peneliti sebenarnya sudah mengetahui suara-suara ruang angkasa ini sejak berdekade-dekade lalu, namun wahanan RBSP berharga 686 juta dolar AS ini menangkap suara-suara itu dalam resolusi yang lebih tinggi dibandingkan yang ditangkap wahana-wahana antariksa sebelumnya.
Dengan pemahaman data yang lebih baik, maka akan didapat pengetahuan mengenai cuaca ruang angkasa yang lebih baik pula.
Mengingat badai Matahari bisa merusak satelit dan berdampak pada jaringan-jaringan hidro (contohnya terjadi pada jaringan hidro di Quebec pada 1989), para penelit berani memprediksi bahwa cuaca akan meminimalkan dampak badai Matahari ini.
RBSP adalah langkah kecil menuju prediksi lebih maju, kata Kletzing. Kekuatan terbesar RBSP, sambungnya, adalah dua satelit yang memungkinkannya mengukur luas cuaca ruang angkasa.
"Kami belum tahu luas kawasan ini, mungkin besar, mungkin kecil," kata Kletzing seperti dikutip Space.com.
Misi RBSP diluncurkan pada 30 Agustus dan kini masih layak mengemban misi selama 60 hari mengingat eksperimen-eksperimen dan perangkat-pernagkat kerasnya telah diujikan.
Dua wahana ruang angkasa mengorbit dalam Sabuk (radiasi) Van Allen, dari 500 km sampai 31.250 km di atas Bumi. Salah satu wahana ruang angkasa itu memutari wahana yang satunya lagi dalam orbit sekitar 75 hari.
Eksperiman Tim Kletzing disebut dengan Electric and Magnetic Field Instrument Suite and Integrated Science(EMFISIS).
Sensor-sensor pada eksperimen ini diletakkan pada ujung dari dua flensa besar pada sisi lain dari wahana ruang angkasa itu.
Ketika semuanya diperluas, masing-masing flensa akan meluas sampai 3 meter dari wahana ruang angkasa.
EMFISIS perlu berada sejauh mungkin dari pesawat angka luar demi mencegah gangguan perekaman suara baik dari instrumen-instrumen lain maupun dari pesawat ruang angkasa itu sendiri, jelas Kletzing.
EMFISIS adalah satu-satunya instrumen yang dinyalakan, sebagian untuk memonitor dan menyingkirkan sinyal-sinyal palsu dari pesawat ruang angkasa.
Simfoni suara
"Paduan suara" hanyalah satu dari sekian suara yang didengar tim EMFISIS. Contohnya, EMFISIS bisa mendeteksi batas antara area padat partikel dengan area renggang partikel.
EMFISIS juga mengukur gelombang-gelombang yang berkaitan dengan perputaran ion yang mengelilingi medan magnet. Hidrogen, Helium dan Oksigen menghasilkan frekuensi putarannya sendiri untuk mencipta gelombang pada frekuensi di bawah yang bisa didengar manusia.
Untuk memetakan partikel-partikel ini diperlukan satu petunjuk mengenai komposisi mangnetosfer.
"Melalui cuaca ruang angka, kami akan bisa meningkatkan derajat perkiraan," kata Kletzing seperti dikutip Space.com. "Untuk memahami bagaimana fisika pastinya bekerja, Anda memerlukan model yang lebih baik, sekaligus memahami model itu."
Misi ilmiah utama RBSP diperkirakan memakan waktu dua tahun. Kletzing menyebutnya teramat lama bagi wahana angkasa luar untuk secara konstan diguyur radiasi.
Kebanyakan wahana angkasa luar menghindari Sabuk Van Allen sehingga memerlukan tameng ekstra dan bagian-bagian khusus.
Pihak-pihak yang berkolaborasi dalam eksperimen EMFISIS adalah Pusat Penerbangan Antariksa Goddars NASA, Universitas New Hampshire, Universitas California di Los Angeles (UCLA) dan Laboratorium Nasional Los Alamos, demikian Space.com.
0 komentar:
Posting Komentar